Dokter penanggungjawab isipku, saat evaluasi, memotivasi kami untuk sekolah lagi. Kurang lebih mengatakan, "ya beginilah kalau jadi dokter umum di rumah sakit daerah. Kamu kerja di igd, kalau malam plus bertanggungjawab seluruh bangsal. Gak enak kan? Makanya sekolah lagi, atau kau menjajaki ke kursi direktur,"
Yap. Aku yang masih isip pun merasa begitu. Keadaan dua bulan ini saja sudah mulai memicu keinginanku untuk lanjut sekolah, apakah itu klinisi atau bukan. Padahal, saat koas, aku sempet berpikiran untuk, "ah yaudah jadi dokter umum aja." Rasanya depresi mau sekolah lagi (bukan berhenti menuntut ilmu, ya, sebab belajar kan gak harus dari sekolah). Kalau sekolah lagi, aku harus mengulang rutinitas kepaniteraanku dengan durasi yang lebih lama dan tekanan yang lebih besar pastinya. Apalagi usiaku semakin bertambah angkanya yang berarti permasalahan hidup dan kehidupan akan mulai bergeser. Jadi ingat waktu sked dan koas dulu, berkali-kali aku dan teman-teman bilang, "cape aku, nikahin aja," seolah-olah nikah adalah solusi dari ke-cape-an kami dan padahal aku yakin bahwa di lubuk hati yang terdalam sudah muncul benih-benih cinta atas rutinitas profesi ini. Cape itu hanya serangan akut ketika tekanan datang beruntun dan kami hanya butuh jeda bernafas.
Cerita sekolah kedokteranku memang penuh dengan 'keluhan'. Aku baru menyadari bahwa ternyata saat kuliah aku lebih banyak mengeluh dibanding saat sekolah menengah. Kenapa ya? Apakah ternyata ini bukan passionku? *wkwkwk alay* Sayangnya aku sudah harus berenang dan belajar menyelam.
Berkali-kali bincang dengan dokter umum disini, lalu spesialis, semuanya menanyakan dan memotivasi agar kami dek isip isip ini sekolah lagi. Dahulu juga setellah lulus dan sebelum berangkat isip, bapak secara verbal menyuruhku agar lanjut sekolah lagi, dan begitu menentang ketika aku bertanya, "kalau teteh gak sekolah lagi gimana?". Baru nanya loh padahal.
Menarik nafas, dan yang harus kulakukan adalah, kembali kepada titik awal, mengecek niat dan tujuan. Apa tujuanmu sekolah lagi? Gelar? Gaji yang lebih besar? Gak mau cape? Atau apa?
Sekarang masih dalam tahap merekonstruksi kembali niat dan tujuan itu. Meluruskan kembali, karena itu sangat penting. Ketika niat ingin sekolah lagi sudah ada (yang dulu sempat menghilang) lalu lingkungan pun mendukung, maka aku harus meluruskan kembali segalanya. Agar kemudian, siap mengambil tanggungjawabnya juga, siap mengambil risikonya juga, termasuk risiko cape yang lebih-lebih. Termasuk tekanan yang lebih-lebih. dan risiko-risko lain yang pasti lebih-lebih. Jadi gak banyak mengeluh. Oh mungkin ternyata, ada niat-niat dan motivasi-motivasi yang tidak lurus dulu saat aku memilih dan menjalani perkulihan di kedokteran yang menyebabkan seringnya aku mengeluh.
Tapi sejauh ini, aku merasakan banyak manfaat dari sekolah selain daripada ilmu. Banyak banyak banyak banget. yang harusnya menjadikanku tidak ada alasan untuk mengeluh.
Bismillah..
Setelah niat sudah ada, kemudian bersama motivasi keduanya sudah lurus, tinggal menentukan sekolah mana yang akan kuambil. (Btw aku gak pernah bilang bahwa aku akan pilih kedokteran/ilmu kesehatan lagi, siapa tau aku sekolah di bidang lain).
Hadi, masih menyusun kepingan puzzle, setelah seperenam jalan di kota mojo.
Komentar
Posting Komentar