Setiap manusia seperti lantai. Setiap hari, setiap detik, selalu saja ada debu yang nempel dan membuat kotor. Sebersih apapun seseorang, dia tidak akan luput dari kesalahan dan kekeliruan. sengaja atau ga. namanya juga manusia, mahallul khoto wan nisyaan.
Kalau ada yang kotor, dibersihkan. Kalau ada yang keliru, diluruskan. Begitu kiranya tugas tokoh agama, entah apa sebutannya, kiai, ustadz, habib, syekh, guru, murabbi, muallim, atau cendikiawan. Seperti kain pel, dia yang membersihkan lantai yang kotor agar kembali menjadi bersih.
Masalahnya, tidak setiap waktu kain pel yang semula bersih akan tetap terus bisa membersihkan dengan baik. Kain pel juga harus dicuci, dibersihkan agar tetap bersih, sehingga mampu membersihkan lantai dengan baik kembali. Tanpa dicuci, kain pel justru akan kotor. Dan karena kekotorannya dia justru membuat lantai jadi kotor, bukan membersihkannya.
Menjadi orang yang bernasihat di atas mimbar, memberi taushiah penyejuk hati, mengajar pengajian, atau sibuk berdakwah ternyata tidak semudah penampilan di kasat mata. Menyerukan kebaikan selalu bermula dari hati. Hati yang bersih akan membuat orang yang diajaknya berbuat baik dan meninggalkan keburukan atau terbuka hatinya. Hati yang kotor akan kehilangan ketajaman kata dan teladan. Bukan pula pekerjaan yang mudah dilakoni, karena setiap ucap kata yang keluar harus dibarengi dengan keikhlasan dan konsistensi dalam ucapan. -Ash shaf: 3-
Penyeru kebaikan justru orang yang harusnya paling banyak mengintrospeksi diri, melihat ke dalam dirinya, dan memohon ampun atas segala kekhilafan yang dilakukannya. Jika Muhammad Sang Utusan pun memohon ampun pada Allah paling sedikit seratus kali sehari, bagaimana mungkin seorang manusia biasa merasa cukup dengan apa yang telah dilakukannya?
Kain pel itu mengangkut debu. Bisa jadi ia lebih kotor dari lantai itu sendiri setelah dipakai. Kalau tidak dicuci, bagaimana bisa bersih?
Hati-hati pula ketika menjadi pemimpin. Salah mengucap pun, pengikut setianya akan manut. Kalau banyak kesalahan, akan banyak pula orang yang ikut bersalah. Kalau salah mengucap, banyak orang yang jadi korban kesalahannya. Kalau pemimpinnya kotor, pengikutnya pun akan ikut kotor.
Alih-alih membersihkan, justru mengotori. Alih-alih meluruskan, justru membuat orang tersesat. Jadi pemimpin itu sulit.
Lillahi ta'ala
Wallahu a'lam bishshowab
Jakarta, Juni 2006
Ahmad Fuady dalam buku kumpulan cerpennya
Menjadi orang yang bernasihat di atas mimbar, memberi taushiah penyejuk hati, mengajar pengajian, atau sibuk berdakwah ternyata tidak semudah penampilan di kasat mata. Menyerukan kebaikan selalu bermula dari hati. Hati yang bersih akan membuat orang yang diajaknya berbuat baik dan meninggalkan keburukan atau terbuka hatinya. Hati yang kotor akan kehilangan ketajaman kata dan teladan. Bukan pula pekerjaan yang mudah dilakoni, karena setiap ucap kata yang keluar harus dibarengi dengan keikhlasan dan konsistensi dalam ucapan. -Ash shaf: 3-
Penyeru kebaikan justru orang yang harusnya paling banyak mengintrospeksi diri, melihat ke dalam dirinya, dan memohon ampun atas segala kekhilafan yang dilakukannya. Jika Muhammad Sang Utusan pun memohon ampun pada Allah paling sedikit seratus kali sehari, bagaimana mungkin seorang manusia biasa merasa cukup dengan apa yang telah dilakukannya?
Kain pel itu mengangkut debu. Bisa jadi ia lebih kotor dari lantai itu sendiri setelah dipakai. Kalau tidak dicuci, bagaimana bisa bersih?
Hati-hati pula ketika menjadi pemimpin. Salah mengucap pun, pengikut setianya akan manut. Kalau banyak kesalahan, akan banyak pula orang yang ikut bersalah. Kalau salah mengucap, banyak orang yang jadi korban kesalahannya. Kalau pemimpinnya kotor, pengikutnya pun akan ikut kotor.
Alih-alih membersihkan, justru mengotori. Alih-alih meluruskan, justru membuat orang tersesat. Jadi pemimpin itu sulit.
Lillahi ta'ala
Wallahu a'lam bishshowab
Jakarta, Juni 2006
Ahmad Fuady dalam buku kumpulan cerpennya
Komentar
Posting Komentar