Idul Qurban tahun ini sudah terlewati. Entah respon apa yang
harus diberikan. Antara senang, tapi senang seolah-olah menggugurkan kewajiban.
Sedih juga, masih jauh dari teladan yang dikasih Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail.
Seperti masalah pengorbanan. Sudah lapang hati, tapi
mendengar cerita dari orang lain tentang aku yang melewatkan banyak hal,
rasanya jadi menyesal. Butuh pengingat lagi, tidak ada yang perlu disesali,
atas setiap decision making yang sudah dibuat.
Selain itu, minggu ini pula minggu paling kelewatan kejam.
Karena Senin libur, hari Kamis yang harusnya kosong jadi ada jadwal, yang
artinya, LI satu malam. Ditambah jadi ketua case sistem baru. Banyak yang harus ditunaikan
atas apa yang telah ditunda sebelum-sebelumnya. Saya tahu, saya salah kalau
saya merasa hanya saya sendiri yang mengalaminya. Dan baru pertama kali pula,
saya menengerjakan LI diwaktu istirahat. Bukan keren sih itu mah.
Yang saya rasa, saya terharu.
Ingat masa-masa di bale, waktu masih bareng tiyar, yati, dan
sinta. Perbedaan status jurusan, kadang jadi kendala saya interaksi sama
mereka. Pernah waktu ketika saya butuh baju hitam untuk dresscode esok hari dan
saya tidak punya. Atau ketika uang bulanan sudah habis, yang kadang bikin
ekspresi wajah berubah dan mudah ketahuan, tiyar yang paling sensitif sama
temen-temennya malah marah. “Maneh boga babaturan teu sih had?” sambil buka
lemari terus cari baju hitam atau ngeluarin uang dari dompet. “Urang babaturan
maneh lain?” Itu bukan marah, emang gaya bahasanya begitu. Secara tersirat
bilang Aku kan temen kamu, kenapa ga bilang? Siapa tau aku bisa bantu
Saya diingatkan, kalau saya tidak sendiri.
Begitu pula saat tutorial kemarin. Di lingkungan yang baru,
mungkin, saya tipe yang berusaha membangun kepercayaan orang terhadap saya.
Jadi jatuhnya, saya ga mau ngecewain temen-temen, termasuk dalam mengerjakan
LI, termasuk saat jadi ketua case. Makanya rada nyesek kalau jadinya ga sesuai
ekspektasi orang walau mereka bilang, “gapapa kok” padahal sebenarnya apa-apa.
Tapi, yang membuat saya terharu, “nanti kita cari sama-sama aja” saat ekspresi
wajah saya ga bisa berbohong kalau saya gatau harus ngapain lagi.
Saya diingatkan, kalau saya tidak sendiri.
Bahkan ketika saya sendiri, saya tidak sendirian.
Mungkin Allah hendak membuat saya sadar lagi, saya makhluk
sosial yang butuh orang lain, yang habluminannas juga harus diperhatiin selain
hablumminallah nya, lewat kejadian minggu ini yang bikin saya kesel sama diri
sendiri dan ngefek ke temen-temen yang ga ada salah sama sekali sampai ingin
lari dari tanggungjawab. Dan itu adalah prosesnya. “Itu alamiah, ketika kamu ga
ingin membebani orang lain yang tak terlibat di dalamnya,” “Tapi, harus tahu
kemana kamu harus kembali.” Tahu dimana tempat kembalinya. Teman-teman
lingkungan seperti apa tempat kembalinya
Disaat sudah jauh melangkah, sudah mulai hilang arah, sudah
mulai menyerah, ingat kembali dari mana berasal, ingat saat awal melangkah
bahwa tujuanmu adalah kesana. Banyak yang ga istiqomah sama tujuan dan
pilihannya, karena lupa dari mana ia berawal.
Jadi wajar kan kalau lagi terjebak dalam ruang nostalgia.
(Mungkin) itu lagi mengingat proses dari mana ia berasal.
Yap, I am growing as physician, now.
Komentar
Posting Komentar