Dan hari yang kutakutkan pun tiba. Hari dimana ketika itu aku sedang
tidak lagi bersamamu dan bersama kita.
Tidak seperti saat jari jemari
diam dalam geraknya, khusyu’ menundukkan qalbu, merasa lemah dan hina mendengar
tiap kalimat yang selalu tertuju pada manusia. Akulah, Kamilah orangnya yang
tersangka. Tidak seperti saat mulut kita tersenyum dan tertawa, mata yang sayu
namun teduh dengan ingin kita yang lebih dari sekedar harapan dan wacana,
menghimpun dalam naungan yang dengan izinNya jauh dari mimpi dan realita yang
fana. Tidak lagi menghitung tetes keringat atau butir beras yang dimakan pun lembaran mata uang. Berhasil
mendidihkan semangat-semangat yang mengalir di urat darah seperti lagu mentari.
Dan hari yang kutakutkan pun tiba. Hari dimana ketika itu aku sedang
tidak lagi bersamamu dan bersama kita.
Hari ketika buah kelapa terbawa
oleh ombak. Kaki ini sudah melangkah, mata sudah menatap, dan tangan sudah
mengayun. Diiringi gemericik dan melodi kehidupan yang menenangkan. Membuat
diri seperti ingin mengejar matahari dan menggenggam bintang. Lupa bahwa diri
ini pun tidak punya hak untuk memiliki diri sendiri. Kaki yang melangkah telah
berhenti, mundur, atau bahkan berbelok. Mata tidak mampu lagi melihat karena
terhalang oleh siluet keindahan fatamorgana. Tangan tidak mampu lagi mengepal.
Bahkan hati sempat membatu, lupa akan petuah sang tetua dari negeri seberang.
Dan hari yang kutakutkan pun tiba. Hari dimana ketika itu aku sedang
tidak lagi bersamamu dan bersama kita.
Hari yang bahkan sejak aku bersamamu
dan bersama kita sudah dapat kubayangkan kepastian terjadinya. Membuat aku
tersenyum, takut. Takut apa yang akan terjadi padaku saat aku mengejar matahari
dan menggenggam bintang? Hingga tidak menyadari bahwa kaki sudah tidak memijak
daratan lagi. Sementara aku dan kamu serta kita ada di belahan yang berbeda?
Dan hari yang kutakutkan pun tiba. Hari dimana ketika itu aku sedang
tidak lagi bersamamu dan bersama kita.
Saat mata sudah tidak jernih lagi
untuk melihat dan hati sudah tidak bening lagi untuk menerima. Ketika dunia
datang dengan pilihan yang menyesakkan dada. Ketika yang mengalir di tiap
pembuluh bukan lagi semangat tapi bisikan yang tak dapat dirasa. Ketika
menyadari diri sudah melampaui garis tegas. Dan hati masih saja batu. Menjadi
busuk karena bisik. Menjadi keras karena paras. Menjadi kosong karena sombong.
Itulah mengapa, jangan lepas aku
dari kebersamaan. Biar kamu dan kita terpisah ruang, tapi dimensi hati kita
tetaplah sama. Jangan lepas aku dari kebersamaan, dengan nasihat. Bahwa sesungguhnya,
biar kita tidak usahnya mengejar matahari dan menggenggam bintang, tapi kita
bisa menjajaki langit menuju Tuhan. Jalan langit yang mendaki lagi sukar dan
sepi dari riuh tepuk tangan. Jangan lepas aku dari kebersamaan, dengan doa.
Dan dengan begitu, aku bisa
melewati hari yang kutakutkan.
Komentar
Posting Komentar