Setelah seminggu menjalani UTS, bak
menghadapi snmptn #lebay #kayapernahikutsnmptn, ga deng, kaya try out kalau
kata temenku, akhirnya kembali menulis .. *yeeeee*
UTS itu ya, sesantai-santainya,
saya tetep santai ko. Bukan karena udah bisa atau ngerasa jago, pasrah ajalah.
Kalau kata temenku waktu smp, ujian mah ga usah belajar sebenarnya, karena
ujian itu sendiri adalah belajar. Biarlah ujian itu menilai dan mengevaluasi
seberapa sungguhnya kamu berproses. Ya, kalau prosesnya bener mah kan ngapain
belajar ‘khusus’ untuk ujian. Karena belajarnya bukan buat ujian. Apalagi buat
nilai. Tapi ga ngebuat lari dari kenyataan. Kata sakurakoji dalam film ‘my boss
my hero’, belajar (dalam hal itu sekolah)
memang bukan buat mengejar nilai. Tapi, kalau kamu berfikir seperti itu lalu
prosesnya ga baik dan saat nilaimu jelek karena bilang “belajar bukan ngejar
nilai” itu...seperti lari dari kenyataan. Kenyataan bahwa proses kamu dinilai.
Hoaks.
UTS juga sebenarnya kalau lihat
sisi positifnya, mengurangi waktu di kampus. Ke kampus Cuma buat ujian. Ga ada
kegiatan kemahasiswaan. Lebih banyak waktu santainya kan #eh. Buat saya pribadi
jadi bisa pulang. Yey! Setelah fix mendeklarasikan hari rabu adalah hari weekend
saya, berhubung hari itu ga ada jadwal kuliah, sementara sabtu-minggu diisi
kegiatan kemahasiswaan. Dan saat uts ini, tiap hari beres jam 10. Pulang banget
kan? Sebenarnya, saya masih suka ga bilang gitu kalau mau pulang sama ibu
asrama. Woles aja lah ya. Apalagi di bale suka stres ngeliat anak-anak pada
belajar. Saya merasa ada tekanan batin.
Di rumah juga bukannya belajar
sih. Tapi, di rumah itu kaya mengembalikan gaya belajar yang pernah hilang.
Bebas dari tekanan batin yang ngeliat orang-orang pada serius belajar.
Nah, waktu di rumah, bongkar
lemari, saya tidak hanya menemukan gaya belajar yang hilang, tapi juga harta
karun yang tersimpan. Mari kita flashback kepada kehidupan sekitar 10 tahun yang lalu, saat saya duduk di kelas
dua.
Saat kelas
dua, saya berfikir untuk mengingatnya, bahwa kelas dua SD adalah titik dimana
saya mulai senang sekolah. Waktu kelas satu SD, saya sangat takut sama yang
namanya sekolah. Tapi, saat kelas dua, saya jadi menyukainya, mungkin karena
faktor adik saya sudah masuk TK saat itu. Jadi kan merasa.. you know lah ya,
Nah, waktu
kelas dua, setiap hari senin sampai rabu di pagi hari, saya dan teman-teman
diberi waktu 15 menit, untuk menulis. Menulis apa? Bebas! Ini program guru
bahasa Indonesia kami, agar kami terbiasa menulis. Bukan saat pelajaran bahasa
Indonesia, tapi setiap pagi 3 hari dari 7 hari. Kami diberi satu petak tiap
anak di dinding, lalu kami menempelkan hasil tulisan kami disitu. Setiap kami
akan ‘memajang’ tulisan baru, kami mencopot tulisan lama lalu tulisannya
dikasih ke wali kelas untuk disimpan dalam map masing-masing. Kami menulis di
setengah lembar HVS.
Tiap orang
bebas menulis seberapa banyak. Kalau anak laki-laki pernah ada yang Cuma nulis
judul doang. Ada juga yang Cuma nulis tanggal doang, saking ga punya ide
mungkin, atau malas. Atau lebih memilih menceritakan langsung apa yang ingin
dia tuliskan kepada temannya. Track record saya sih paling dikit satu paragraf,
paling banyak satu hari bisa 4 setengah lembar HVS. Nulis apaan? Ada deh...
Dan setahun pun
berlalu. Di akhir pelajaran bahasa Indonesia kelas dua, guru bahasa Indonesia
kami memberikan buku kepada tiap orang. Buku itu ternyata adalah kumpulan
tulisan kami masing-masing selama setahun. Tulisan yang disimpan oleh wali
kelas kami dibukukan. Sederhana saja, seperti menjilid kertas-kertas setengah
HVS dengan cover tebal seperti buku. Sehingga, ketebalan buku itu tergantung
dari seberapa banyak kamu menulis.
Semua anak,
covernya warna coklat. Tiap bukunya ada nama pemilik, eh, penulisnya. Di
halaman depannya ditambah sambutan guru bahasa Indonesia kami, lalu ada foto
kami sekelas.
Sederhana,
tapi bahagia. Tulisan kami, khususnya saya pribadi, merasa diapresiasi. Kami
saling bertukar buku dan membaca tulisan-tulisan teman kami saat kelas tiga.
Dan senangnya lagi, saat itu bukuku yang paling tebal :3.
Dan lama setelah itu, saat SMP
akhir, aku membaca-baca lagi buku itu. Betapa bocahnya saya waktu itu. Saya
menghina tulisan saya sendiri. Bocah banget pokoknya. Alay banget pokonya.
Ceritanya, puisinya, pantunnya, teka-tekinya, apalah itu yang saya tulis. Ya
kebayang lah ya tulisan anak kelas dua SD kaya gimana ._. . Tapi satu hal yang
saya lihat, dari halaman ke halamannya, ada perkembangan tulisan, baik dari
bentuk tulisan itu sendiri yang mulai semakin rapi maupun isi tulisannya.
Dan saya suka menulis sejak saat
itu. Saya berfikir untuk menjadi penulis sejak saat itu.
Buku itu sekarang ada di tangan
adik-adik saya yang SD. “Teh, ceritanya aneh” Itu kata adik saya yang kelas 5.
Ya iya lah aneh. Tapi tetep aja terus dibaca sampai habis ya de? :D. Tapi, adik
saya yang kelas 2 ga ngomentarin yang aneh-aneh tuh tentang isi bukunya. Malah dia punya cerita favorit gitu di bukunya. ahaha. Berarti emang pikiran anak SD kelas dua kaya gitu ya. –Betapa aneh dan bocahnya
saya waktu itu kalau baca lagi buku itu-
Betapa hebatnya menulis itu.
Menulis itu sejarah. Kalau dipostingan sebelumnya, dia adalah kapsul waktu.
Tulisannya bisa jadi bukti yang nyata ketimbang hanya mengucapkannya saja.
Menulis itu butuh amunisi, salah satunya dari membaca. Membaca dari tulisan
yang ditulis. Dan seterusnya.
Dan saya akan tetap menulis
apapun yang saya pikirkan. Dulu sangat terobsesi untuk nerbitin buku. Sekarang,
selama saya menulis, menuangkan apa yang saya pikirkan, walau hanya di blog
ini, atau di buku catatan, walau itu mencatat buku pelajaran, walau itu menulis
seperti diari, tidak ada masalah dengan itu. Dalam bentuk apapun, Yang penting dari tulisan itu adalah dibaca!
Iya kan? :D
Seperti postingan tentang tulisan
sebelumnya, kekuatan tulisan itu, lebih hebat dari pada peluru yang hanya bisa
menembus satu kepala. Tulisan bisa menembus sangat banyak kepala.
Wallahua’lam
Komentar
Posting Komentar