“Rheenaa..., kerjakan PR kimiaku..”. Seperti biasa, Almi akan meminta bantuanku mengerjakan PR kimia untuknya. Almi saat itu sedang berkunjung ke rumahku untuk pertama kalinya. Ya maklumlah, kami kan baru 1 semester kenal di SMA.
Walaupun begitu, aku sudah cukup mengenalnya. Mau bukti? Nama lengkapnya Almia Liviana, anak kedua dari 3 bersaudara. Ayahnya seorang direktur perusahaan dan ibunya seorang dosen. Kakaknya mahasiswa di universitas favorit dan adiknya adalah seorang siswa SMP. Rumahnya di Komplek Taman Graha Alam jalan Griya Asri Raya nomor 11. Dia alumni SMP Trijaya. Orangnya baik, cantik, aneh dan pintar. Dia masternya fisika. Fisikanya hebat benar pintarnya. Hanya sayangnya, dia memiliki keanehan.
Keanehan itu ada 2. Yang pertama, dia alergi pete. Kalau mencium baunya, kepalanya langsung pusing-pusing. Kalau makan pete, badannya jadi gatal-gatal. Yang kedua, dia mengidap sebuah penyakit. Penyakit yang bukan disebabkan oleh virus, bakteri, ataupun bawaan genetik. Penyakit yang belum ditemukan obatnya. Yang dokter biasa juga bingung tentangnya. Penyakit yang akan kumat di waktu tertentu. Penyakit yang sangat aneh.
Dia menderita penyakit hipokimiaculosis. Penyakit yang mungkin hanya ada pada dirinya dan dia beri nama sendiri. Penyakit ini akan kambuh hanya saat pelajaran kimia. Setelah itu, dia akan kembali normal. Saat penyakitnya kumat, dia akan merasakan pusing-pusing, mual, dan gatal-gatal. Aku tak tahu apa yang menyebabkan Almi menderita penyakit teraneh sedunia itu.
Sebagai kawannya, aku berusaha membantunya. Hanya kimia kelemahannya dan itu pun karena penyakit anehnya. Oleh karena itu, aku selalu membuatkan PR kimia untuknya agar nilai kimianya tidak terlalu nol. Setidaknya, nol koma. Karena selama ini, dia tidak mengikuti pelajaran dan ulangan kimia. Ya, hitung-hitung balas jasa atas kesediannya mengajariku fisika. Hal yang membuatku ingin membantunya adalah selain karena dia sohib baikku, dia sangat ingin masuk IPA. Dan kimia adalah salah satu syaratnya. Kasihan kan?
Semua teman di kelas mengetahui tentang penyakit hipokimiaculosisnya itu. Begitupun wali kelas dan keluarganya. Tapi, yang namanya dokter umum tak tahu apa obatnya. Yang Almi butuhkan adalah seorang psikolog. Dan Almi tak mau berobat ke psikolog.
Sempat aku bertanya padanya, apa asal-usul dia bisa mengidap penyakit hipokimiaculosis. Almi hanya menjawab, “ Itu penyakit yang aku buat sendiri”. Artinya, dia sendirilah penyebabnya.
“ Almi, aku masih bingung. Kok kamu bisa kena hipokimiaculosis?” Aku memberanikan diri bertanya hal yang sama padanya.
“ Emang kenapa sih Rhen? Apa urusanmu?” Almi balik bertanya dengan nada yang cukup tinggi. Aku jadi takut.
“ Bukan maksud apa-apa. Tapi, kalau aku tahu penyebabnya, mungkin aku bisa membantumu menghilangkannya,” jawabku.
“ Hmmm..Oke deh. Aku percaya sama kamu. Tapi, kamu janji jangan tertawa dan harus memberikan solusi.” Pinta Almi. Aku mengangguk.
“ Sebenarnya, dari waktu SMP aku tidak suka kimia. Bukan gak suka pelajarannya, tapi gak suka gurunya. Gurunya killer abis sama aku. Hanya karena aku bilang kalau....kalau mulutnya bau, dan aku gak suka sama bau mulutnya. Kita semua tahu, bahwa makanan favorit guru kimiaku saat itu adalah pete. Dan aku gak suka pete. Kamu juga tahu kan kalau aku ini alergi pete? Aku tutup hidung deh. Emang sih keterlaluan. Tapi yang parahnya, guru kimia itu melakukan KDLS dan KGTM,” cerita Almi.
“ Hah? Apalagi tuh KDLS dan KGTM? Kamu jangan suka ngarang yang aneh-aneh deh!” kataku dengan rasa penasaran.
“ Kekerasan dalam lingkungan sekolah dan kekerasan guru terhadap murid. Aku ditampar!” kata Almi.
“ Astagfirullah, terus-terus, apa gurunya dikeluarkan dari sekolah?”
“ Tidak. Aku tidak mengadukannya kepada siapa pun! Ke guru lain, ke wali kelas, kepala sekolah, atau pun orang tuaku. Karena aku tahu itu adalah salahku.”
Almi melanjutkan ceritanya, “ Semenjak itu, aku selalu berpikiran bahwa image kimia di mataku jelek. Dan mungkin, hipokimiaculosis itu disebabkan karena otakku sudah nge-save dan membingkai yang aneh-aneh terhadap kimia. Bahwa kimia itu jelek, kejam, membosankan, memusingkan, dll. Ya, ibarat kalau kita sudah berpikiran gak bisa terhadap suatu hal, eh ternyata beneran gak bisa. Cuma, kalau aku lebih parah.” Tuturnya luas banget. Dan aku mengerti perasaannya.
“ Kalau gitu, kenapa kamu gak mengubah pikiran bahwa sebenarnya kimia itu asyik dan bla-bla-bla. Pokoknya mengubah pandangan negatif kamu terhadap kimia menjadi pandangan positif.” kataku memberi solusi. “ Gak bisa Rhena!” katanya.
“ Tuh kan! Kata ‘gak bisa’ itu yang bikin image-nya kimia di kepalamu gak berubah-ubah. Kamu mengerti permasalahanmu tapi kamu tak mau tahu bagaimana cara keluar dari masalahmu. Kalau gak suka, jangan dihindari.” kataku berapi-api.
Almi diam sebentar, lalu berkata, “ Hmmm...benar juga. Solusi yang bagus Rhen! Lagamu seperti psikolog saja.”
“ Maklum, calon”
“ Tapi, kamu bantu aku ya!”. Aku mengacungkan jempol tanda setuju.
Akhirnya, Almi mau mencoba melaksanakan solusi jituku.
Maka, semenjak hari itu Almi berusaha untuk tidak ke UKS selama pelajaran kimia. Aku pun sudah antisipasi dengan membawa obat sakit kepala dan balsem. Walaupun terapinya lama, namun berangsur-angsur penyakitnya hilang. Dan akhirnya, Almi bisa mengikuti pelajaran kimia seperti orang normal lainnya. Nilainya sih tak begitu bagus. Tapi, pintu masuk jurusan IPA sudah terbuka lebar untuknya.
“ Terima kasih ya Rhena atas obatnya. Kau memang shohibku yang paling baik.”
“ Sama-sama. Aku turut senang! Dengan sembuhnya kamu dari penyakit aneh yang kau buat itu, aku jadi tak perlu mengantarmu ke UKS lagi setiap pelajaran kimia dan susah-susah mengerjakan PR kimiamu. Hehe...” kataku.
“ Uh.. Rhena!” kata Almi.
“ Tapi Rhen,” Almi melanjutkan.
“ Tapi kenapa?”
“ Belakangan ini, aku sering batuk-batuk disertai flu dan keluar keringat dingin saat pelajaran biologi. Sepertinya...sekarang aku kena penyakit biologhitis.”
“ ?!?”
Komentar
Posting Komentar