Ahlan wa sahlan Imtihan! Marhaban Ya Ramadhan!
Saya deg-degan nulis judulnya. Sudah tujuh kali sembilan
minggu saya bernafas sebagai koas, berarti 9 minggu lagi saya mengakhiri ini! Yang
artinya, 12 minggu lagi saya diuji kemampuan saya, layak atau tidak menjadi
dokter. Kan, gimana gak tegang. Katanya sih lebih tegang dari snmptn.
Sejujurnya.. saya belum siap ukmppd. Fake prolognya, “ahlan wa sahlan.”
Sembilan minggu ketujuh saya kepaniteraan di bagian: jiwa, forensik,
dan saraf, masing-masingnya tiga minggu. Tiga stase yang banyak banget
pelajaran hidup dan kehidupannya, apalagi forensik. Emang, gimana?
Di sembilan minggu ketujuh ini, saya rotasi bareng kelompok
sebelah yang sejujurnya saya gak deket sama mereka. Tapi keadaan memaksa saya
2x3 minggu merasakan atmosfir mereka. Dan ternyata, not bad. Dengan bumbu-bumbu
dan cita rasa masing-masing personal serta budaya kelompok, saya jadi tahu
bahwa sesungguhnya setiap orang itu adalah pribadi yang unik dan
menyenangkan. Walaupun itu cuman sekali, atau lebih banyak hal-hal yang kita
tidak suka dari orang itu. Ya namanya juga manusia kan~~. Saya mendapat
pelajaran hidup adalam hal pergaulan, pertemanan, dan berinteraksi. Itulah
koas.
Waktu stase jiwa, saya sempat kepikiran mau jadi SpKJ
(perasaan tiap lewat stase baru gini terus wkwkwk). Walaupun awalnya abstrak,
tapi saya suka ilmunya, suka ranahnya, dan saya belajar interaksi dengan orang
yang memiliki gangguan mental, dari yang biasa aja, lucu, nyebelin, kasihan, sampai
nyeremin. Saya belajar bahwa “inilah dokter sesungguhnya!”. Sesabar itu loh
dokter-dokter spesialis jiwa. Saya yakin, mereka yang ngambil residensi
kedokteran jiwa adalah mereka yang idealis waktu S.Kednya, yang tulus hatinya
mau jadi dokter. Kan saya malu jadinya sama niat sendiri yang gampang goyah. Yang
suka sok sok an nyesel masuk fk dan merasa ga sanggup. Suka lebay dan kufur
nikmat emang, Had. Jiwa menyadarkan saya. Bahwa objek ilmu ini adalah MANUSIA
yang punya perasaan. Dan saya suka sedih kalau baca status pasien jiwa …L kasian yang gak bisa
saya jabarkan. Pokoknya salut banget sama residen-residen dan konsulen jiwa.
Selanjutnya adalah forensik. Stase yang mengharuskan saya
untuk standby 21x24 jam di sekitaran rshs, karena setiap ada panggilan kasus
kematian, kami harus segera di tempat dalam waktu 20 menit. Akhirnya anak
rumahan ini pun ngekos di sekitaran sana, menjadi tahanan kota. Saya juga kepikiran
mau jadi spesialis forensik, tapi saya gak tau bakal kuat atau enggak
ngejalaninnya. Yang saya suka adalah ilmunya. Berasa detektif yang mengungkap
misteri kematian. Membedah mayat, apakah dia bunuh diri, atau dibunuh, atau suatu kematian yang wajar. Dari yang biasa aja sampai yang busuk dan
belatungan. Hal yang gak saya suka cuma 1: menghafal pasal. Pas stase ini juga
kami diajak ke pengadilan. Seru banget lihatnya, gimana ketika seorang dokter
dipanggil jadi saksi. Berasa di pilm-pilm *maafin aku yang alay*.
Dan satu pelajaran paling penting yang didapat dari forensik: selalu
mengingat kematian. Di forensik kami belajar, bahwa selain meminta kepada Allah
dimatikan dalam keadaan yang husnul khotimah, minta juga agar meninggal dalam
kedaan yang wajar. Saya kaget banget, dapat kasus kematian pertama di hari
pertama saya stase, malem-malem, seorang mahasiswi 2 tahun dibawah saya yang
meninggal karena kecelakaan lalu lintas. Tragis. Temen-temennya pada datang,
kaget, dia yang tadinya masih ngobrol beberapa menit yang lalu tiba-tiba pergi.
Bahkan teman yang dibonceng bersamanya lebih kaget lagi.. keluarganya juga. Dan
refleksi ke saya: kematian tidak pernah mengenal identitas kita. Saat pemeriksaan
mayat tersebut, saya benar-benar refleksi ke diri saya sendiri…. Dia perempuan,
saya juga. Dia mahasiswa, saya juga. Dia masih usia 20an, saya juga. Dia
pengendara motor, saya juga. dan seterusnya, dan seterusnya, bahwa saya gak ada
beda dengan dia. Bahwa ketika ruh sudah tidak di jasadnya, percayalah bahwa
tubuh ini cuma tanah. Hanya tanah. Yang sama koas forensik dibelek-belek,
dikeluarin isi organnya, dan seterusnya. Walaupun pada kasus-kasus berikutnya
sudah terbiasa dengan mayat dan bau baunya, tetap saja, mereka (mayat) selalu
mengingatkan saya pribadi bahwa mati itu adalah haq. Dan diri saya ini cuma tanah
yang bernyawa.
Stase berikutnya adalah neuro. Pelajaran kehidupan yang saya
ambil adalah tentang empati dan lagi-lagi tentang kematian. Pasien saraf banyak
yang prognosisnya sudah ad malam. Dua dari tiga kali saya jaga, saya disuruh
observasi pasien yang kondisi nya udah jelek banget. Dua-duanya DNR, tapi 1
pasien saya yang ambu. Karena saya observasi, saya benar-benar diperlihatkan
detik-detik menuju kematian –secara kedokteran-. Dari yang nafasnya cepat,
hingga melambat, kemudian berhenti. Dari yang denyut nadinya cepat, kemudian
melambat, hingga tidak teraba. Pupil mata yang masih berespon, hingga
midriasis maksimal. Gak cuma perubahan fisik pasiennya, tapi juga respon dan emosi
keluarga yang bersamanya. Mungkin karena pasien DNR, jadi keluarga sudah
memiliki “persiapan” akan kepergian anggota keluarganya. Tapi tetap saja, kalau
sedih ya sedih. Dan ini yang bikin empati saya hilang. Karena saya ngambu
hampir semalaman –gantian dengan teman saya- jujur aja, saya lelah. Dan ketika
nafasnya sudah hilang, ada perasaan bersyukur “akhirnya saya berhenti ngambu”. Saya
sadar bahwa itu salah. Mungkin karena saya lelah. Dan pasien itu bukan
siapa-siapa saya. Saya sadaaar pikiran-pikiran kaya gitu salah. Tapi ketika
keluarganya bilang, “makasih ya sus”. Padahal saya kesel dipanggil “sus”. Padahal
saya juga gak layak diucapin terima kasih. Saya sadar pikiran-pikiran itu
salah.
Over 300 hours of work a month. Research all night long. Because of that you lose your friends and get neglected by your family. Why do doctors sacrifice valuable things and work themselves to the bone? Ist it money? Is it prestige? What is that doctors work for?
What do we become doctors for? Is it the satisfaction of being needed by people? Is it the sense of mission to save people? No, the real reason is for the sake of our loved ones smiles. For our patients thankful words. For those things only doctors sacrifice everything and work hard. But, when we can’t trust even that anymore, what should we do?
-Code blue season 2 ep 8
Itulah cerita pelajaran hidup dan kehidupan saya selama koas
di tiga bagian itu. Sebenarnya masih banyak banyak banget pelajaran-pelajaran
yang lebih berharga dari sebatas ilmu pengetahuan klinis dan kedokteran. Saya merasa
bersyukur, saya bisa jadi mahasiswa kedokteran. Allah tau banyak banget
kekurangan saya, dan memberikan pelajaran langsung lewat kehidupan di sekitar
saya.
Makanya, saya jadi takut, pelajaran pelajaran yang Allah
kasih ini hanya berefek sesaat. Saya takut banget gak lulus ukmppd. Tapi saya
lebih takut lagi, kalau saya lulus tapi saat jadi dokter, tangan ini tidak
bermanfaat untuk kehidupan manusia. Saya takut tangan kecil ini tidak bisa bertanggungjawab.
“saat itu, mungkin dokter ‘menunda’ kematian seseorang, entah 1 menit, 1 jam, 1 hari, atau bahkan 1 tahun. Tapi 1 waktu yang kau ‘tunda’ itu bisa mengubah kehidupan seseorang," -Kuroda senseiBismillah.. stase terakhir
Men's Watches Stainless Steel wedding rings
BalasHapusA new stainless steel wedding ring design has been developed titanium hammers for the titanium dioxide sunscreen Watches stainless steel wedding rings. titanium wood stove This high quality wedding ring was titanium tubing designed to be microtouch titanium trim as seen on tv
s983s7hbvhj524 vibrators,Discreet Vibrators,realistic dildos,adult sex toys,vibrators,penis rings,dog dildo,dog dildo,sex toys m903f5ldswr424
BalasHapus