Awal dari periode sembilan minggu ketiga sudah kuniatkan biar diawali dengan bahagia. Ku sudah bertekad biar membahagiakan diri setiap hari.
Hal pertama yang membuat itu tidak terjadi adalah: aku gak begitu dekat sama temen temen sekelompok begitu aku tahu aku sekelompok kecil dengan siapa. tapi itu ga jadi masalah sekarang karena udah bukan trend nya gak bisa blend sama orang lain. walau ada satu titik kita butuh kembali ke comfort zone, iya gak sih :(. Hal kedua adalah isu isu tentang perseptor yang dewa langit yang katanya itu galak galak nyeremin. Lagi-lagi, ketakutan saya selalu lebih besar dari keinginan dan keberanian saya.
Pecah. Iya, isu hanyalah isu, dan persepsi adalah persepsi. Gossip hanyalah gossip dan ghibah tetaplah salah.
Sebelum melanjutkan tentang sembilan minggu ketiga, saya sebutkan dahulu: saya masuk stase Ilmu Penyakit Dalam.
Saya sudah niat lagi untuk mau serius belajar mengingat saya yang Cuma lewat aja di stase-stase sebelumnya dan di stase ini banyak banget penyakit yang mungkin saat jadi General Practitioner akan sering ditemui. Saya gak mau bego jadi dokter. Udah gitu aja.
Hari demi hari dilewati. Ketakutan-ketakutan saya di awal awal itu perlahan hilang. Perseptor yang katanya galak itu, baik dan pintar sekali. Banyak persepsi-persepsi saya seputar klinis yang berubah. Saya semakin terlihat bego, tapi saya bahagia. Dua perseptor yang pintar ini, malah membuat saya ingin jadi seorang spesialis penyakit dalam. Nampak necis, rapih, dan terlihat keren dan pintar. Saya suka system belajarnya disini yang teratur dan terarah, walau kadang terlalu sistematis jadi membosankan. Awalnya Bed side teaching sangat menyenangkan dan mengangkan, tapi lama lama membosankan.
Saya dan teman teman juga semakin akrab. Kalau kata Umar, kedekatan diperoleh dengan makan bersama, melakukan perjalanan bersama, dan menginap bersama. Setidaknya selama dua minggu di RSUD Sumedang kami melakukan hal itu, walau saya yakin kedekatan itu bersifat reversible. Setelah rotasi ini selesai, bahkan setelah tidak melakukan apa-apa bersama lagi, kedekatan itu udah gak ada. Karena kita sadar, kesibukan masing-masing yang berbeda beda lebih banyak yang bersifat prioritas.
Karena di rotasi inilah saya malah semakin ingin jadi seorang dokter.
Namun kemudian, hal itu pupus seketika.
Setelah saya ujian.
Saya dibabat dan dikata-kata sampai saya udah gak sanggup lagi lihat wajah pengujinya.
Tiba-tiba demot. Saya sadar saya bego, tapi kali ini malah membuat saya gak mau jadi dokter. Karena saya takut. Kalau dokternya bego kaya saya, saya mau ngehilangin berapa nyawa? Lagi-lagi saya berhasil dibuat nangis. Nangis dari yang awalnya karena takut gak lulus, karena 7 minggu saya belajar rupanya tetep aja gabisa jawab. Sampai berfikir saya gak cocok dan gabisa jadi dokter. So so so demotivated.
Bukan hanya itu masalahnya.
Bersamaan dengan itu, saya ada di titik futur iman. So many things were skipped. Saya sadar betapa banyak dosa yang saya buat. Dari bohong sampai gossip. Yang biasanya diisi seminggu sekali sebelum memberi, saya skip 3 minggu hingga hampir sebulan sementara tuntutan memberi terus ada. Saya berhadapan dengan ketakutan ketika saya pertama kali mencelupkan kaki ke rimba: saya takut tidak bisa menjaga diri.
Sadarlah saya di sembilan minggu ini, bahwa saya banyak sekali dosanya. Kalau begini, saya amat takut menjadi “Tangan Tuhan”.
Mungkin harus dibuat begitu. Dibuat jatuh biar bangun. Dibuat tenggelam biar berenang. Dibuat bego biar belajar. Tapi bagaimana bila saya tidak tahu bagaimana caranya?
Tapi, setelah judicium dan hari hari berlalu, saya sadar bahwa memang harusnya seperti itu. Perasaan perasaan mau ga mau mau kemudian tidak mau lagi yang masih conditional itu biar menguatkan saya. Toh kemudian yang saya butuhkan dikondisi itu hanyalah pulang, ke tempat dimana harusnya saya berada. Biar ingat titik asal dan awal.
Biarpun terlambat dari orang orang, ketika teman teman sudah mulai dan menetapkan definisi mereka di masa depan, saya masih bingung dengan kehadiran saya disini. Hahah. Noprob lah. Untuk hal seperti ini, banyak jalan memutar, tapi saya memutuskan untuk menyelesaikan hal ini.
Sekarang saya sudah masuk ke sembilan minggu ke4. Roller coster masih melaju dengan trek yang tidak akan terduga. Exciting!
Allah, peluk hamba!
Hal pertama yang membuat itu tidak terjadi adalah: aku gak begitu dekat sama temen temen sekelompok begitu aku tahu aku sekelompok kecil dengan siapa. tapi itu ga jadi masalah sekarang karena udah bukan trend nya gak bisa blend sama orang lain. walau ada satu titik kita butuh kembali ke comfort zone, iya gak sih :(. Hal kedua adalah isu isu tentang perseptor yang dewa langit yang katanya itu galak galak nyeremin. Lagi-lagi, ketakutan saya selalu lebih besar dari keinginan dan keberanian saya.
Pecah. Iya, isu hanyalah isu, dan persepsi adalah persepsi. Gossip hanyalah gossip dan ghibah tetaplah salah.
Sebelum melanjutkan tentang sembilan minggu ketiga, saya sebutkan dahulu: saya masuk stase Ilmu Penyakit Dalam.
Saya sudah niat lagi untuk mau serius belajar mengingat saya yang Cuma lewat aja di stase-stase sebelumnya dan di stase ini banyak banget penyakit yang mungkin saat jadi General Practitioner akan sering ditemui. Saya gak mau bego jadi dokter. Udah gitu aja.
Hari demi hari dilewati. Ketakutan-ketakutan saya di awal awal itu perlahan hilang. Perseptor yang katanya galak itu, baik dan pintar sekali. Banyak persepsi-persepsi saya seputar klinis yang berubah. Saya semakin terlihat bego, tapi saya bahagia. Dua perseptor yang pintar ini, malah membuat saya ingin jadi seorang spesialis penyakit dalam. Nampak necis, rapih, dan terlihat keren dan pintar. Saya suka system belajarnya disini yang teratur dan terarah, walau kadang terlalu sistematis jadi membosankan. Awalnya Bed side teaching sangat menyenangkan dan mengangkan, tapi lama lama membosankan.
Saya dan teman teman juga semakin akrab. Kalau kata Umar, kedekatan diperoleh dengan makan bersama, melakukan perjalanan bersama, dan menginap bersama. Setidaknya selama dua minggu di RSUD Sumedang kami melakukan hal itu, walau saya yakin kedekatan itu bersifat reversible. Setelah rotasi ini selesai, bahkan setelah tidak melakukan apa-apa bersama lagi, kedekatan itu udah gak ada. Karena kita sadar, kesibukan masing-masing yang berbeda beda lebih banyak yang bersifat prioritas.
Karena di rotasi inilah saya malah semakin ingin jadi seorang dokter.
Namun kemudian, hal itu pupus seketika.
Setelah saya ujian.
Saya dibabat dan dikata-kata sampai saya udah gak sanggup lagi lihat wajah pengujinya.
Tiba-tiba demot. Saya sadar saya bego, tapi kali ini malah membuat saya gak mau jadi dokter. Karena saya takut. Kalau dokternya bego kaya saya, saya mau ngehilangin berapa nyawa? Lagi-lagi saya berhasil dibuat nangis. Nangis dari yang awalnya karena takut gak lulus, karena 7 minggu saya belajar rupanya tetep aja gabisa jawab. Sampai berfikir saya gak cocok dan gabisa jadi dokter. So so so demotivated.
Bukan hanya itu masalahnya.
Bersamaan dengan itu, saya ada di titik futur iman. So many things were skipped. Saya sadar betapa banyak dosa yang saya buat. Dari bohong sampai gossip. Yang biasanya diisi seminggu sekali sebelum memberi, saya skip 3 minggu hingga hampir sebulan sementara tuntutan memberi terus ada. Saya berhadapan dengan ketakutan ketika saya pertama kali mencelupkan kaki ke rimba: saya takut tidak bisa menjaga diri.
Sadarlah saya di sembilan minggu ini, bahwa saya banyak sekali dosanya. Kalau begini, saya amat takut menjadi “Tangan Tuhan”.
Mungkin harus dibuat begitu. Dibuat jatuh biar bangun. Dibuat tenggelam biar berenang. Dibuat bego biar belajar. Tapi bagaimana bila saya tidak tahu bagaimana caranya?
Tapi, setelah judicium dan hari hari berlalu, saya sadar bahwa memang harusnya seperti itu. Perasaan perasaan mau ga mau mau kemudian tidak mau lagi yang masih conditional itu biar menguatkan saya. Toh kemudian yang saya butuhkan dikondisi itu hanyalah pulang, ke tempat dimana harusnya saya berada. Biar ingat titik asal dan awal.
Biarpun terlambat dari orang orang, ketika teman teman sudah mulai dan menetapkan definisi mereka di masa depan, saya masih bingung dengan kehadiran saya disini. Hahah. Noprob lah. Untuk hal seperti ini, banyak jalan memutar, tapi saya memutuskan untuk menyelesaikan hal ini.
Sekarang saya sudah masuk ke sembilan minggu ke4. Roller coster masih melaju dengan trek yang tidak akan terduga. Exciting!
Allah, peluk hamba!
Komentar
Posting Komentar