Langsung ke konten utama

Sembilan Minggu Pertama

Bismillah...

Sudah Baru 9 minggu jadi dek koas kok rasanya kaya udah 9 bulan... lama banget sekali.

Jadi dek koas susah susah gampang ya ternyata, sedih sedih senang, bete bete bahagia gitu.

Sembilan minggu kemarin saya baru saja melewati stase bedah, salah satu stase besar. Ada culture shock disini, terus dibilang agak kurang beruntung juga katanya. Tapi ya mau bagaimana lagi, disyukuri saja, sibuknya udah di awal :)

Sebelum saya menulis ini, saya menyengajakan diri untuk membuka tulisan-tulisan gak penting di laptop, dan lalu menemukan sebuah lirik lagu opening drama code blue, sebuah drama medical jepang favorit saya.

Dore kurai no neuchi ga aru darou
I wonder how much dignity there is
Boku ga ima ikiteru kono sekai ni
throughout this world I’m living right now
Subete ga muimi date omoeru 
I think it’s all just meaningless
Chotto tsukareten no ka naa 
may be I’m a little worn out

Ittai donna risou wo egaitara ii? 
Exactly what kind of dream should I draw?

Donna kibou wo idakisusundara ii?
What sort of wish should I go on embracing?

Mirai ga bokura wo yonderu 
the future is calling out for us
Sono koe wa ima kimi ni mo kikoete imasu ka? 
Is that voice now audible to you too?

Kesshite tsukamaeru koto no dekinai 
the light that resembles fireworks
Hanabi no you na hikari da to shitatte 
even if I can never get a hold of it
Mou ikkai 4x 
one more time 4X
Boku wa kono te wo nobashitai 
I want to reach out with this hand

Dare mo mina kanashimi wo daiteru 
everyone is bearing sadness
Dakede suteki na ashita wo negatteiru 
but is hoping for a wonderful tomorrow

Okubyoukaze ni fukarete namikaze gat ta sekai wo
A world gushed by cowardice and full of conflict
Dore dake aisuru koto ga dekiru darou 
I wonder how much I’ll be able to love it

Pas banget lagunya sama keadaan saya 9 minggu ini jadi debu kekeset di dunia koas.
Saya scroll lagi ke bawah, dan menemukan catatan-catatan episode tiap filmnya. Dan lagi-lagi, catatan-catatan ini pas banget sama keadaan saya 9 minggu ini jadi debu kekeset di dunia koas.
Ep 2
When examining a patient with severe bleeding, or more specifically, catching sight of a senior doctor’s accurate judgment in his field of expertise and his swift ligature skills, the fellowship members become dazed from realizing their own inexperience. Then the next thought follows. “ Is this really me?” “No, it is not. I want to believe it is not me. But, to begin with, what was the real me?”
While looking for myself, what I found was my miserable self becoming despicable. But, facing that self whether I should come to a halt, appalled. Or go one step forward. Depends on oneself. Whether the direction we are facing is in front of us or behind us, even that is not certain, but we want to take a step forward. Together with our useless selves.
Ep 7
More than results, the process of exerting oneself is important. People grow up and realize how utter a lie that is, people see nothing but results. It makes sense for results to be bad if one slacks off, the problem is when exerting oneself to the maximum and still getting bad result. At such times, what should people do?
Why are results such harsh things? 6 years in med school, over 100 medical books. All that time devoted preposterously, believing it was for the sake of saving patients in the future. All that gets blown away once bad result appear. With just 1 mistake, you lose everything, and then doctors hurt. Since those bad result are chains, that bring unpredictable consequences along with them
Ep 9
Continuous suture, horizontal mattress suture, skin stapler, a surgeon knows of all kinds of ways to stich an open wound. But, the emotional scars, what can be used to stitch emotional scars?
There is no easy way to heal emotional scars. I just thinks of this way: wounds of the heart are undoubtedly necessary. That’s because bearing wounds in our hearts, we can become aware of other people’s pain

Banyak hal yang saya khawatirkan dulu saat sebelum koas, dan itu benar-benar terjadi. Tentang saya yang gak sanggup menyesuaikan irama hiperbolis rumah sakit, dunia pertemanan di lingkungan setengah dipekerjakan, kompetitif yang saling makan temen, menyesuaikan dengan pergaulan yang luar biasa heboh, menghindari mis komunikasi dan menjaga hubungan yang baik dengan semua orang, ngomongin orang dimana-mana, hingga saya yang pernah telat dan woles wae karena berpendirian kukuh untuk tidak nge kos (kecuali pas nanti forensic), menjaga diri, juga baper akut. Semua yang mereka omongin itu, benar-benar saya alami.
Ketika saya tanya, apa yang harus saya lakukan menghadapi kekhawatiran itu, guru medis dan spiritual saya, kakak senior saya, semuanya mereka menjawab: jalani saja. dan ternyata memang itu jawabannya ketika saya sudah kecemplung, ya berenang. Panik hanya akan membuat saya semakin tenggelam. Tapi jawaban itu kurang sreg buat saya, hingga saya tahu bahwa jawaban “jalani saja” itu belum lengkap. Karena saya sudah disini, prinsip pertama saya adalah berusaha untuk tidak lari kembali ke “comfort zone”. Suatu ketika salah seorang dokter bilang. “cape kan dek? Kenapa kamu pilih sini?” saya bilang,”saya sudah memulainya dok, maka saya harus mengakhirinya.” Ah. Kenapa saya jawab begitu waktu itu?
Ep 10
Medical practice is a succession of choices. Go into surgery whilst prepared for hemorrhaging or persist with the more conservative therapy. In any case, at that fork in the road, once you choose, you can’t turn back. You can’t reset. That is the same with life. It’s a succession of uncertain forks in the road. But, there’s no option but to choose and proceed down one road. The crossroad in ones life draws near mercilessly
Bedah, adalah stase besar, stase pertama yang harus saya tempuh dari 16 stase lain yang akan saya lewati berikutnya. Jujur, saya excited, karena saya sempat tertarik untuk menjadi dokter bedah. Salah satunya juga karena nonton code blue ini, saya tertarik untuk bekerja di emergency life saving. Tapi, 9 minggu di bedah membuat saya memalingkan muka. Saya gak mau jadi dokter bedah (kalau pun nanti berubah pikiran lagi, saya tidak mau ambil spesialis bedah di tempat saya koas sekarang). Lingkungannya benar-benar membuat saya tertekan dan saya ternyata memang gak bisa kerja dibawah tekanan (paling banter adalah bekerja karena dikejar deadline). Bedah, benar-benar berhasil membuat saya baper akut karena lingkungan (ini gak baik karena terlalu sensitive) dan berhasil membuat saya nangis di sepanjang perjalan pulang sambil teriak-teriak, “kenapa hidup the gini-gini amat.. kenapa jadi dokter the gini-gini amat..”
Setiap kali jaga bedah di igd, setiap kali perjalanan pulang, saya selalu berkontemplasi dalam pikiran, kok saya pilih jalan ini. Kenapa saya harus disini. Kenapa saya waktu itu mau jadi dokter sih. Dan kalau mikir begitu, akhirnya saya selalu bilang, kalau saya gak cocok jadi dokter. Bukan hanya pikiran saya, kadang keadaan ketika saya gak bisa menjawab pertanyaan, gak bisa melakukan sesuatu yang seharusnya akan jadi kompetensi saya, saya selalu mengatai diri saya bahwa saya memang sepertinya gak cocok jadi dokter.  Dan itu bukan sekali dua kali. Berkali-kali saya membujuk diri sendiri untuk terus melangkah. Untuk terus maju
Ep 2
When examining a patient with severe bleeding, or more specifically, catching sight of a senior doctor’s accurate judgment in his field of expertise and his swift ligature skills, the fellowship members become dazed from realizing their own inexperience. Then the next thought follows. “Is this really me?” “No, it is not. I want to believe it is not me. But, to begin with, what was the real me?”
While looking for myself, what I found was my miserable self becoming despicable. But, facing that self whether I should come to a halt, appalled. Or go one step forward. Depends on oneself. Whether the direction we are facing is in front of us or behind us, even that is not certain, but we want to take a step forward. Together with our useless selves.
Okey, cukup sampai disini gelisah dan baper karena lingkungan yang bukan comfort zone saya. Karena bagaimana pun, kehidupan ini akan terus berjalan dan sekali lagi, pesimisme ini hanya akan membuat saya semakin tenggelam.
Ketika saya ada di fase saya baru kecemplung, tenggelam, dan panik sangat, ada yang memberi tahu saya, “Hadi jangan lupa, bahwa semuanya itu milik Allah. Hingga akal-akal itu, yang memahamkanmu itu, ilmu itu, punya Allah.” Sob sob sob, saya nangis lagi dibilangin gitu. tausiyah bener-bener nusuk dan mengena di titik luka saya saat itu, ketika saya merasa gak cocok jadi dokter karena lingkungan yang tidak seirama. Bukan, bukan itu sebenranya. Justru karena itu, hal yang saya takuti adalah saya takut tidak bisa bertanggung jawab jika Allah mau menitipkan ilmu itu pada saya.
Mereka bilang karena terlalu idealis.
Setelah tausiyah itu, saya kembali mencoba berenang lagi, dan bukan sekali dua kali saya hampir tenggelam lagi.
Sudah setengah kewajiban jaga malam saya jalani. Cape, jelas sekali tersirat dan tersurat di tulisan ini. Tapi, ketika melihat pasien yang saya bantu, saya selalu sedih, dan yakin bahwa mereka pasti lebih cape dari saya. Ya capenya saya gak ada apa-apanya dibanding capenya orang lain. Sakitnya saya, ga ada apa-panya dibanding sakitnya mereka dan keluarganya. Kekhawatiran saya, ga ada apa-apanya dibanding khawatirnya mereka, yang dimana malaikat-malaikat maut itu sudah selalu sigap di RS. Kadang melihat beberap dokter-dokter di poli, di igd, saat menghadapi pasien seperti mengahadapi benda mati. Jujur, saya gak mau kehilangan sifat baper kalau udah jadi dokter nanti. Karena sifat baper akan semakin terkikis seiring perjalanan karena sudah ‘kebiasaan’ dan mengahadapi kehidupan tsb adalah hal yang biasa. Walau kadang ada satu titik kesel banget sama pasien yang gak bisa ngerti keadaan saya yang Cuma debu keset koas.
Lagi-lagi… kalau pikiran udah kaya begini dan sampai tahap ‘mau berhenti jadi dokter’ adalah meluruskan lagi niat kenapa mau jadi dokter?
I wonder how much I’ll be able to love it
Baru 9 minggu dan rasanya gak beres-beres koas teh. Pingin segera cepet-cepet berakhir.
Dan saya masih dalam perjalanan mendapatkan jawaban utuh dari “jalani saja”. selebihnya, saya berusaha mencintai proses ini, toh 9 minggu ini benar-benar sudah memberikan banyak banyak banyak banyak pelajaran, lebih banyak dari kekhawatiran saya ternyata.
Bakal kangen cerita di bedah :")


“Hadi jangan pakai rasa makannya,” bener sih, mungkin sayanya yang terlalu baperan atau gimana. Tapi sayanakan tetap pakai rasa, hanya saja, saya juga berusaha membangun mental sekuat tembok cina, dengan iman, biar bisa memilih, mana perasaan yang harus dibunuh, mana perasaan yang harus dijaga.
Keep on the track, Had.

#pspd1

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Students Day

6 September 2012, Unpad Ada student day. Ngapain? Ya, ga jelas , pamer UKM, parade fakultas, yang penting sih ketemu temen temen 20, temen temen smp. Hadi kaya anak ayam panda kehilangan induk. bukan, maksudnya ngebaur aja sama fakultas lain. Ke stand-stand bareng ifa sama temen-temennya (faperta), yang temen temennya ternyata sangat ingin masuk fk, dan sindrom itu muncul lagi di kepala. Ketemu temen-temen smp, ifa, pipah, aizzah, qonita, andra, ketemu sama temen-temen dua puluh, sama ichwan, sama endo, sama temennya yang aku kira kevin, sama novi, sama achmad yang ternyata satu fakultas sama andra, ketemunya bareng dan sama-sama manggil, terus pada pa pelong-pelong gitu mereka, manggil orang yang sama, haha, ga ngerti ah. Ketemu sama franklin sama sofah, cerita banyak. malah ngerasa jadi curcol sama mereka about what happen with hadi in FK. Terus cerita kalau mereka udah ketemu sama kakak hadi. dan berita sudah menyebar luas. Yang bodor itu ketemu sama kakak sendiri, tapi g...

Buket Bunga dan Alamat E-mail

Hei, ada yang tau cara merawat bunga tanpa akar itu? Iya, ini pertama kalinya aku dapat buket bunga :3. dari siapa? Ehm ehm tebak. Biasanya, di kampus kalau ada event sesuatu fakultas berubah jadi pasar. Mendanus everywhere, termasuk danus bunga. Jadi, kita bisa pesan bunga untuk dikasih ke seseorang sambil dikasih pesan, dan nama kita bisa dirahasiakan. Terus? Gapapa. Aku cuma mau bilang, bunganya bukan dari danus tsb. Mau ngirim bunga ke siapa emang dan siapa yang mau ngirim bunga ke hadi? Bisa aja sih, buat roomate gitu. Tapi, mendingan dibeli danus makanan kan uangnya ... Terus, bunganya? Apakah bunga ini dikirim lewat e-mail seperti judul di atas..?  Ya kali. Bermula dari semua keacuhan. Selain berubah jadi pasar, saat-saat lecture adalah saat yang tepat untuk publikasi dan juga oprec lalala. Nah, saat itu pendkesma lagi muterin oprec lomba Padjadaran Berprestasi Summit.  Ada 7 mata lomba disana. Nah, si aku ini iseng aja nulis, jadi engganya ikut gimana nt...

Terlahir (terlatih) bisa Fisika

Kalau dipikir fisika itu ga ada gunanya. Eh, lebih tepatnya, ga nyata dalam kehidupan sehari-hari. Buat apa kita mengukur volume batu? Menghitung gaya normal si batu, lalu sudut elevasi yang tepat agar batu itu bisa dilempar lalu jatuh berada pada jarak 1m dari sisi sungai, lalu sesuai gaya archimedes, batu menggantikan volume air yang loncat sesuai dengan volume yang tercelupnya, lalu kemudian tenggelam dengan percepatan dan kecepatan tertentu, dipengaruhi oleh gaya gesek dengan air? Kalau dibilang buat digunakan sehari-hari, sepertinya gak usah belajar secara teoritis, nyatanya, kegiatan yang berhubungan dengan fisika itu adalah kegiatan yang terlatih, bukan terdidik. Tukang bangunan, terlatih bisa menerapkan fisika. Dia tahu kecepatan awal yang tepat agar batu bata yang dia lempar pada kawan diatasnya bisa menangkapnya. Temannya yang diatas juga sudah bisa memperkirakan pada detik ke berapa dia harus menangkap setelah kawannya melempar. Pemain bola basket juga sudah bisa memperkir...