Paparan sejak dini dengan orang sakit dan lingkungan mereka berkumpul sudah mulai dilakukan. Setidaknya 2 hari dalam seminggu selama 10 minggu (baru 5 minggu sih, dan akan menjadi 10 minggu) kami di fasilitas layanan primer aka puskesmas, dan proses pengambilan data skripsi yang membuat saya bulak-balik ke rshs sepulang kuliah, cukup memberikan efek untuk saya.
Di puskusmas, saya lebih senang mengobservasi pasien dan dokternya saat mereka berinteraksi. Jujur, saya sendiri saat itu ngerasa lagi ga ada passion dengan hal2 berbau tindakan. Saya sedang lebih senang mengamati, tanpa saya harus berbicara dengan mereka.
Di rumah sakit, pertama saya sangat menyesali rekam medis yang begitu pabalatak dan tidak lengkap. Kedua, saya sangat sedih membaca kisah mereka dalam lembaran hasil anamnesisnya. Terlebih, saya mengambil data pasien anak. Makin baperlah saya, seusia seharusnya mereka berbahagia, apa yang mereka pikirkan? Sekuat apa tulang kedua orangtuanya?
Perjalanan dari ruang kuliah ke instalasi rekam medis, saya akan melewati banyak ruangan yang namanya tidak asing tapi saya sendiri tidak begitu tahu peruntukkannya. Saya melewati banyak orang. Dokter berjas lengan panjang, lengan pendek, mahasiswa kepaniteraan, perawat, ahli gizi, apoteker, satpam, pun para pekerja kebersihan dan pembangunan. Termasuk juga pasien, subjek yang mesti ada di rumah sakit, juga keluarganya yang lalu lalang.
Saya sudah mulai terbiasa dengan suasananya.
Saya jadi berfikir dua kali bila memilih untuk hidup bekerja disini. Saya merasa tidak cocok berada di lingkungan seperti ini. Atmosfernya terlalu sensitif untuk saya, apalagi saya ini pengkonsumsi drama medical khusunya jepang yang kita tahu pembawaan emosinya selalu luar biasa. Emosinya ga hanya sedih, bisa senang, bisa kecewa, bisa juga marah.
Dan hidup disini memiliki risiko untuk menjadi sakit lebih tinggi.
***
Beberapa hari yang lalu, orangtua salah satu teman karib saya masuk rumah sakit swasta untuk operasi. Saya sudah tau bahwa beliau akan di operasi, tetapi kabarnya mendadak bahwa waktunya adalah saat itu.
"Sini, temenin, bu dokter, " katanya.
Jujur, saat itu saya berfikir dua kali. Saya lelah sekali pulang kuliah, dikejar deadline dan mengejar tandatangan. Dan tadinya saya mau ikutan diskusi sama teman-teman untuk wrap up kuliah dokter pembimbing, siapa tau dengan diskusi pemikiran saya jadi lebih tercerahkan.
Tapi kemudian saya memilih untuk datang.
Sampai disana, teman saya bilang, "Had, nanti kalau dokternya ngajak masuk, ikut yu." Saya kaget. Antara kepengen dan ga mau. Siapa saya, boleh masuk? Tapi, ini kesempatan langka.
"Gak apa-apa gitu?"
"Iya, gapapa."
Selang beberapa menit, dokternya ngajak dia masuk, dan dia ajak aku untuk masuk. Lalu, kami diperlihatkan organ tubuh yang diambil dari orangtuanya, rahim. Ya, rahim itu sudah membesar, bukan karena berisi bayi, tapi jaringan tumor.
Saya begitu amazed, karena baru kali pertama saya melihatnya dalam keadaan yang benar-benar fresh from the human.
"Kan kamu jadi sekalian belajar," katanya.
Iya, aku jadi merasa berhutang pada keluarganya.
Beberapa hari yang lalu juga setelah kejadian itu, saya sempat digemparkan dengan kabar dari sanak saudara saya. Hari itu hari Minggu, hari saya bermalas-malasan. Sudah sholat kemudian tidur. Saat bangun, ayah bilang, "Teh, itu bibi melahirkan! Cepat bantuin"
Saya yang masih cengo baru bangun bingung. "Ibu mana?"
Iya, bibi saya yang bertetanggaan rumahnya, melahirkan, tanpa dibantu tenaga kesehatan. Singkat cerita, suaminya sedang tidak ada saat itu, dan anak tertuanya yang masih 4 tahun datang ke rumah, bilang "wa, ibu itu ada dede bayi, " dengan polosnya. Dan saat ibu saya kesana, keadaannya bayi sudah melihat dunia dan darah berceceran. Ibu saya panik, dan ditambah tidak ada tenaga kesehatan.
"Ibu, kenapa ga bangunin teteh?" Aku kesal, karena aku ingin banget bisa bantuin sekaligus belajar langsung. Toh membantu persalinan adalah salah satu skills dokter umum dan selama ini pun aku baru belajar dari boneka aja.
"yah lama bangunin teteh, mending segera panggil bidan. Makannya teh, jangan tidur lagi kalau pagi,"
"Kenapa ga dari awal dibawa ke bidan bu? Kan udah dicek harusnya kalau udha minggunya"
Yah, suka sedih kalau ada ibu melahirkan yang tidak dibantu oleh tenaga kesehatan, dengan alasan apapun. Ekonomi kah, pendidikan kah, keyakinan kah, sedih pokoknya. Intinya, saya nya juga masih kurang peka.
***
Saya masih mahasiswa undergraduate. Perjaalanannya masih panjang. Emosi saya jadi suka meletup2. Kalau saya lagi lelah kuliah, rumah sakit salah satu tempat yang tepat untuk kembali semangat, walau saya menyadari saya tidak suka tempat ini, walau pada akhirnya saya belum tentu memilih rumah sakit menjadi tempat saya berada kelak.
Ah, lelah memang perjalanan ini. Tekanan saya belum ada apa-apanya dibanding siapapun. Kalau merasa lelah, melihat pasien dan keluarganya adalah salah satu cara menguatkan semangat lagi, karena selelah dan sesakit apapun kuliah, pasien tetaplah yang lebih sakit keadaannya. Walau pada akhirnya kelak saya belum tentu memilih menjadi dokter klinisi yang bertemu langsung dengan pasien.
Bersemangatlah Had. Kata imam syafii, menyia-nyiakan ilmu at thib berarti menyia-nyiakan sepertiga ilmu.
Komentar
Posting Komentar