Ada salah satu drama medical yang bikin saya merasa jadi
semakin melankolis, sebut saja Code Blue. Di season dua, tiap awal episode ada
pertanyaan yang nanti di akhirnya ada jawaban yang related to case di tiap
episodenya. Bukan pertanyaan mirip mde, tapi mungkin lebih pertanyaan bhp, atau
mungkin pertanyaan seputar perasaan dan pemikiran. Yang oh ternyata, ada
beberapa pertanyaan yang sama dengan apa yang saya pikirkan setelah hampir 2
tahun hidup di hutan, sebut saja fk.
Ada satu episode, ketika salah satu dari dokter lakon
diminta untuk memberikan penjelasan kepada ibu pasien bahwa si pasien itu
sebenarnya sudah dalam keadaan mati otak. Ibu pasien pada awalnya menolak untuk
menandatangani consent DNR. Tapi setelah beberapa waktu (mungkin) setelah
diberi penjelasan, si dokter merasa sudah sama perasaan anatara dia dan si ibu
bahwa pasien memang sudah mati dan tanpa tandatangan si ibu, dilepaslah semua
alat bantu pasien. Eh, si keluarga pasien yang lain ada yang menuntut tindakan
dokter tersebut sebagai malpraktek karena telah mencabut alat bantu hidup
pasien tanpa tanda tangan atau consent tertulis dari si ibu.
Ada saat ketika si dokter itu merasa bahwa perasaannya sudah
sama dengan si ibu, sehingga ia melakukan tindakan tersebut. Dengan kata lain,
beliau merasa si ibu sudah paham maksud dari pembicaraannya dan menyetujui
untuk mengakhiri saja. Tapi, atas dasar prasangka sama rasa malah membawa dia
ke meja hijau. Dan ketika dijelaskan, si dokter sampai berteriak, “ketika saya
merasa ibu sudah merelakan kepergian anaknya walau sulit baginya untuk rela,
apakah saya harus memintanya untuk menandatangani form DNR yang menyatakan bahwa
saya setuju agar anak saya mati saja?”
Akhirnya tuntutan dicabut.
Ada percakapan dari dokter seniornya yang saya ingat.
Mungkin, atau bahkan memang benar atas dasar apa dokter lakon ini melakukan
tindakannya. Hanya saja, dia harus tahu bagaimana melindungi dirinya. Karena, tandatangan itu akan membuat dirinya terhindar dari tuntutan.
Ada pula satu episode, dimana yang saya tangkap bahwa
seorang ‘tim penyelamat’ harus menjamin dan menjaga keselamatan dirinya sendiri
sebelum menyelamatkan orang lain yang terluka. Toh, tujuan dia datang untuk
membantu orang, bukan dibantu. Kalau tidak bisa malah akan merepotkan yang
lain.
Ada satu tulisan Ahmad Fuadi yang pernah saya pos sebelumnya
yang mungkin relate juga sama kisah ini. Bayangkan saja, bagaimana saya mau
menjaga orang, kalau saya tidak menjaga diri saya sendiri. Bagaimana saya mau
menyarankan orang lain untuk makan dengan benar dan olahraga teratur, kalau
saya sendiri tidak melakukannya? Bagaimana saya mau menolong orang, kalau
ternyata saya ada di posisi yang justru butuh pertolongan alias dalam posisi
yang tidak selamat? Bahkan bagaimana jika ternyata saya tidak menyadari bahwa saya sedang duduk di dahan yang sedang saya potong?
Ada ayat Allah yang berbunyi “Kaburo maqtan ‘inda Allahi ‘an
taquuluu maa laa ta’maluun” yang intinya Allah benci sama perbuatan yang kita
ucapkan tapi tidak kita kerjakan.
Ada pula di surat At Tahrim ayat enam, “Wahai orang yang
beriman! Perihalah dirimu dan keluargamu dari api neraka …”
Bahkan, Allah menyuruh saya untuk menjaga diri sebelum
menjaga orang lain. Menjaga kesehatan diri sendiri, baru menjaga kesehatan
orang lain. Tapi tidak untuk sehat sendiri.
Komentar
Posting Komentar